Partai Bulan Bintang DKI Jakarta Ajukan Uji Materi Ambang Batas Balon Pilkada ke MK - Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) untuk Partai Bulan Bintang

Post Top Ad

Partai Bulan Bintang DKI Jakarta Ajukan Uji Materi Ambang Batas Balon Pilkada ke MK

Share This
ilustrasi


DDII DUKUNG PENUH PARTAI BULAN BINTANG -- Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Bulan Bintang (DPW PBB) DKI Jakarta Madsanih resmi mengajukan uji materi aturan syarat ambang batas pencalonan kepala daerah dalam Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Dia meminta agar syarat ambang batas pencalonan kepala daerah sedikitnya 20 persen jumlah kursi DPRD atau 15 persen akumulasi suara sah pemilihan anggota DPRD tidak berlaku bagi partai politik.   

Melalui kuasa hukumnya, Victor Santoso Tandiasa menilai syarat mencalonkan kepala daerah tidak perlu ada ambang batas partai politik. Sebab, persyaratan pilkada yang diatur Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada memaksa partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi syarat untuk bergabung (koalisi) agar dapat mengusulkan calon kepala daerah.

“Persyaratan pilkada berbeda dengan Pemilu Legislatid yang menggunakan syarat ambang batas parlemen, sehingga untuk mencalonkan kepala daerah tidak perlu ada ambang batas jumlah kursi partai politik di DPRD,” kata Victor usai mendaftarkan pengujian UU Pilkada di Gedung MK Jakarta, Kamis (15/8/2019).

Selengkapnya Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.”

Dalam praktiknya, kata Victor, calon kepala daerah dan wakilnya ialah nama yang diusung partai politik yang memiliki perolehan jumlah kursi di DPRD atau memiliki akumulasi perolehan suara terbanyak diantara partai-partai yang tergabung dalam koalisi. Sementara, terhadap partai politik yang perolehan kursi atau akumulasi suaranya kecil, tidak akan mungkin dapat mencalonkan kader terbaik dari partainya.

“Padahal, setiap partai politik memiliki calonnya masing-masing sesuai agenda dan cita-cita partainya yang dianggap pantas untuk menjadi seorang pemimpin kepala daerah,” ujarnya.

Victor menegaskan pemilihan kepala daerah dan pemilu memiliki syarat berbeda. Ia menjelaskan jika pemilihan calon presiden dan wakl presiden memiliki ambang batas pencalonan sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Sedangkan adanya syarat ambang batas partai politik pengusung calon kepala daerah dan wakilnya tidak memiliki basis konstitusional dalam UUD 1945.

Menurutnya, dilihat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.” Dengan tidak diaturnya secara eksplisit syarat pencalonan kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai, ini menjadi pembuka pintu masuknya calon perseorangan untuk ikut kontestasi dalam pilkada yang masuk ranah pemerintahan daerah.

Karena itu, adanya calon perseorangan dalam sistem pilkada telah mematahkan pertimbangan hukum presidential threshold dalam pilpres. Padahal, faktanya, adanya calon perseorangan tidak membuat sistem pemerintahan daerah deadlock atau kebuntuan pemerintahan yang disebabkan kepala daerah berasal dari calon perseorangan.

“Jadi, sudah selayaknya pencalonan kepala daerah pun tanpa perlu persyaratan ambang batas partai politik seperti halnya calon kepala daerah perseorangan,” pintanya.

Baginya, adanya persyaratan ambang batas bagi partai politik mencalonkan kepala daerah sesuai Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada telah menimbulkan dualisme dalam melaksanakan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Dia mencontohakan Putusan MK No. 5/PUU-V/2017 terkait syarat pilkada di Nangroe Aceh Darussalam yang diatur Pasal 67 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh, tidak mensyaratkan adanya ambang batas pencalonan kepala daerah.

Dalam putusan MK ini disebutkan adanya dualisme dapat mengakibatkan ketiadaan kedudukan yang sama antara warga negara Aceh dan warga negara di luar Aceh. “Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada, haruslah dipandang sama dengan mengacu pada Pasal 67 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,” dalihnya.

Dengan tidak terdapatnya perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan, Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada dinilainya tidak sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 dimana perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan adalah prinsip utama yang dijamin negara hukum berdasarkan UUD 1945. (sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages