Di tengah isolasi internasional akibat kudeta militer 2021, Myanmar justru mencatatkan lonjakan investasi asing dari sejumlah negara, terutama Singapura. Data dari Direktorat Investasi dan Administrasi Perusahaan Myanmar menunjukkan bahwa sepanjang 2024, Singapura menjadi investor terbesar dengan nilai mencapai 456 juta dolar AS. Posisi ini bertahan meski tekanan kelompok HAM internasional terus mendesak negara itu menghentikan aliran dana dan bahan bakar jet ke junta militer.
Singapura memang cenderung mengambil sikap netral dan pragmatis dalam konflik Myanmar. Meski tidak secara resmi mengakui Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG), Singapura juga tak menolak keberadaannya. Negeri kota ini lebih menekankan pentingnya dialog inklusif dan penyelesaian damai yang melibatkan seluruh pihak di Myanmar, tanpa mengambil posisi politik terbuka.
Sementara itu, junta militer Myanmar terus mencari sekutu alternatif. Salah satu upaya paling mencolok adalah tawaran investasi strategis kepada Rusia. Junta berencana membangun hub logistik dan perdagangan Asia Tenggara di kawasan Pelabuhan Kyaukphyu, Rakhine State. Lokasi ini dipilih karena posisinya yang strategis di pesisir Samudra Hindia dan menjadi titik simpul dalam proyek Jalur Ekonomi China-Myanmar.
Hub ini dirancang sebagai pelabuhan laut dalam sekaligus pusat logistik yang terhubung langsung ke Rusia dan Asia Tengah melalui laut. Jika proyek ini berjalan, maka Myanmar bisa menjadi pintu gerbang alternatif untuk perdagangan Asia Tengah dan Pasifik, sekaligus memotong dominasi jalur Selat Malaka yang selama ini dikendalikan oleh Singapura dan Malaysia.
Dampaknya terhadap geopolitik regional pun besar. Bagi Amerika Serikat, kehadiran Rusia di Myanmar berpotensi mengganggu pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik. Washington khawatir Myanmar akan menjadi simpul baru bagi aliansi militer dan ekonomi Rusia, Tiongkok, dan Korea Utara. Situasi ini bakal mempersulit strategi AS yang selama ini mengandalkan tekanan ekonomi dan diplomatik terhadap junta.
Di sisi lain, Tiongkok juga memiliki kepentingan besar atas proyek tersebut. Meski Myanmar saat ini bermanuver mendekati Rusia, Beijing tetap menjadi investor dan mitra dagang utama junta, khususnya dalam proyek minyak, gas, dan kawasan industri di perbatasan. China tentu tak ingin kehilangan pengaruh strategisnya atas jalur minyak dan gas dari Myanmar ke Yunnan yang menjadi bagian vital dari Belt and Road Initiative.
India pun memandang serius rencana pembangunan hub ini. Sebagai negara tetangga, India khawatir pelabuhan Kyaukphyu bisa menjadi pangkalan logistik militer asing yang mengancam keamanan di Teluk Benggala. New Delhi selama ini mencoba meredam pengaruh Tiongkok dan Rusia di kawasan itu melalui proyek Pelabuhan Sittwe dan jalur darat Kaladan Multi-Modal Transit.
Sementara itu, Thailand memilih langkah hati-hati. Negara ini menjadi investor ketiga terbesar di Myanmar setelah Singapura dan Tiongkok. Namun, Thailand lebih berkepentingan menjaga stabilitas di perbatasan karena konflik bersenjata terus membara antara junta dan kelompok etnis bersenjata seperti Karen National Liberation Army (KNLA) dan Arakan Army (AA).
Bagi Singapura, investasi di Myanmar tetap menarik secara ekonomi, khususnya di sektor energi, migas, dan manufaktur. Salah satu perusahaan asal Singapura, Interra Resources, tercatat memasok lebih dari 2,3 juta barel minyak senilai 150 juta dolar AS ke Myanmar Oil and Gas Enterprise (MOGE) sejak 2021. MOGE merupakan penyumbang devisa terbesar bagi junta yang kini dijatuhi sanksi oleh AS dan Uni Eropa.
Namun, investasi ini tidak lepas dari kritik. Kelompok Justice for Myanmar menuding investasi dari Singapura membantu memperkuat mesin perang junta dan memperpanjang penderitaan rakyat sipil. Meski demikian, pemerintah Singapura tetap membela posisi netralnya dengan alasan kepentingan ekonomi dan prinsip non-intervensi ASEAN.
Di sisi lain, Singapura cukup tegas terhadap pekerja migran Myanmar di wilayahnya yang diduga mendukung kelompok pemberontak Arakan Army. Beberapa warga Myanmar di Singapura dilaporkan dipulangkan atau dilarang bekerja setelah terlibat aktivitas politik yang berhubungan dengan konflik di Rakhine.
Posisi Singapura yang menjaga hubungan baik dengan junta sekaligus menghindari konfrontasi langsung dengan NUG menjadi cerminan dilema geopolitik ASEAN secara keseluruhan. Blok Asia Tenggara ini terpecah dalam menyikapi krisis Myanmar karena adanya kepentingan ekonomi, keamanan, dan stabilitas kawasan.
Seiring terus berjalannya proyek hub logistik Myanmar-Rusia, ketegangan di kawasan diperkirakan meningkat. Pelabuhan Kyaukphyu berpotensi menjadi arena baru perebutan pengaruh antara kekuatan besar dunia. AS, Tiongkok, India, dan Rusia akan terus memantau ketat perkembangan di Rakhine sebagai bagian dari manuver geopolitik Indo-Pasifik.
Hingga pertengahan 2025, peta kekuasaan Myanmar masih terfragmentasi. Junta menguasai sekitar 22 persen wilayah, sementara NUG dan milisi rakyat mengendalikan 35 persen. Sisanya dikuasai kelompok pemberontak etnis seperti AA, KIA, dan KNLA yang membentuk proto-negara di kawasan masing-masing.
Di tengah kekacauan ini, masa depan investasi asing di Myanmar masih penuh ketidakpastian. Singapura dan Tiongkok tampaknya akan tetap bertahan demi kepentingan jangka panjang, sementara negara Barat dan Jepang cenderung menahan diri. Myanmar pun mulai menatap Moskow sebagai mitra strategis baru dalam upaya membebaskan diri dari tekanan ekonomi internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar