Perbandingan Sistem Politik Rusia dan Indonesia - Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) untuk Partai Bulan Bintang

Post Top Ad

Perbandingan Sistem Politik Rusia dan Indonesia

Share This
Perbandingan Aceh dengan Chechnya, serta Tatarstan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sering muncul dalam diskursus politik karena sama-sama menyentuh isu pusat–daerah, identitas, dan status khusus. Namun, kesamaan itu bersifat parsial dan kontekstual, bukan identik secara penuh.

Aceh dan Chechnya sama-sama wilayah dengan identitas keagamaan yang kuat dan sejarah perlawanan terhadap pusat. Keduanya pernah menjadi simbol tantangan serius terhadap otoritas negara modern yang sedang mengonsolidasikan diri.

Di Indonesia, Aceh memiliki sejarah panjang sebagai wilayah berdaulat sebelum integrasi ke dalam republik. Demikian pula Chechnya, yang memiliki memori kenegaraan dan struktur sosial tersendiri sebelum sepenuhnya berada di bawah kendali Moskow.

Konflik bersenjata menjadi titik kesamaan paling mencolok. Aceh mengalami konflik panjang antara GAM dan pemerintah Indonesia, sementara Chechnya mengalami dua perang besar dengan Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet.

Namun, pendekatan negara terhadap kedua wilayah ini berbeda secara mendasar. Indonesia memilih jalur rekonsiliasi politik melalui Perjanjian Helsinki 2005, sementara Rusia menempuh rekonsolidasi koersif dengan kekuatan militer dan kontrol keamanan ketat di Chechnya.

Aceh pascaperdamaian diberikan otonomi khusus yang luas, termasuk penerapan syariat Islam dan pengelolaan sumber daya tertentu. Chechnya, sebaliknya, berada dalam otonomi de facto yang sangat bergantung pada loyalitas elit lokal kepada Kremlin.

Artinya, Aceh tidak sepenuhnya setara dengan Chechnya. Aceh adalah contoh integrasi melalui konsesi politik, sementara Chechnya lebih mendekati integrasi melalui stabilisasi keamanan.

Meski demikian, dalam imajinasi geopolitik, Aceh memang kerap dipersepsikan sebagai “wilayah sensitif” seperti Chechnya, karena potensi simboliknya bagi stabilitas nasional. Dalam konteks ini saja, analogi tersebut memiliki makna.

Berbeda halnya dengan Tatarstan. Wilayah ini sering dianggap sebagai contoh sukses integrasi identitas Muslim ke dalam Federasi Rusia tanpa konflik bersenjata besar, terutama pada era 1990-an.

Tatarstan memiliki status otonomi yang diakui, identitas budaya kuat, dan hubungan relatif harmonis dengan pusat. Ini membuatnya sering dibandingkan dengan DIY Yogyakarta di Indonesia.

DIY memiliki keistimewaan berbasis sejarah monarki yang diintegrasikan ke dalam republik. Tatarstan juga membawa warisan sejarah kekhanan yang dinegosiasikan ke dalam struktur negara Rusia modern.

Keduanya menjadi simbol integrasi identitas lokal tanpa separatisme aktif. Baik Yogyakarta maupun Tatarstan dipandang sebagai contoh bahwa negara dapat mengakomodasi kekhususan tanpa kehilangan kedaulatan.

Namun, terdapat perbedaan prinsipil. Keistimewaan DIY bersifat kultural-politik dan relatif stabil, sedangkan otonomi Tatarstan bersifat fluktuatif dan dapat direvisi sepihak oleh Moskow.

Selain itu, DIY tidak pernah mengajukan kedaulatan politik terpisah, sementara Tatarstan pernah memiliki perjanjian bilateral khusus dengan Rusia yang mendekati status kuasi-negara pada 1990-an.

Dari sisi relasi pusat-daerah, DIY adalah “model loyalitas historis”, sedangkan Tatarstan adalah “model negosiasi kekuasaan”. Keduanya sama-sama damai, tetapi lahir dari logika yang berbeda.

Jika disusun dalam satu kerangka, Aceh lebih dekat dengan Chechnya dalam hal sejarah konflik, tetapi lebih dekat dengan Tatarstan dalam hal hasil integrasi damai pascakonflik.

Sebaliknya, DIY lebih tepat dibandingkan dengan wilayah Rusia yang sejak awal memilih integrasi sukarela dan simbolik, bukan wilayah yang memiliki riwayat konflik bersenjata.

Dengan demikian, menyamakan Aceh sepenuhnya dengan Chechnya berisiko menyesatkan, karena mengabaikan perbedaan pendekatan negara dan capaian politik pascakonflik.

Begitu pula menyamakan Tatarstan sepenuhnya dengan DIY mengabaikan fakta bahwa otonomi di Rusia lebih bersifat administratif dan dapat ditarik kembali, sementara keistimewaan DIY dilindungi konstitusi Indonesia.

Kesimpulannya, analogi tersebut berguna sebagai alat analisis, tetapi tidak boleh dipahami secara harfiah. Aceh bukan Chechnya, dan Tatarstan bukan DIY, meski ada irisan pengalaman yang membuat perbandingan itu menarik.

Dalam konteks Indonesia, justru penting menekankan bahwa pengelolaan Aceh dan DIY menunjukkan pendekatan integratif yang relatif lebih lunak dibanding model Rusia, yang lebih mengandalkan sentralisasi kuat.

Akhirnya, perbandingan ini menegaskan satu hal: stabilitas negara multietnis tidak ditentukan oleh penyeragaman, melainkan oleh kemampuan negara membaca sejarah, identitas, dan batas kompromi politik di tiap wilayahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages